Senin, 16 Mei 2011

MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.
Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem. 
Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut : 
1. Van Meter dan Van Horn
Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut : 
1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 
2.  Karakteristik agen pelaksana/implementor 
3.  Kondisi ekonomi, social dan politik 
4.  Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

2. George Edward III 
Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut, yaitu : 
1.   Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ? 
2.   Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?
Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi 
2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah : 
a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan 
b.  informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi 
c.  dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan 
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan. 
3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya 
4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi. 

3. Mazmanian dan Sabatier 
Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka : 
“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways, ‘structures’ the implementation process”. 
Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2008) : 
a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. 
b.  Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujua
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

4. Model Grindle 
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. 
Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut : 
1.  Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan 
2.  Jenis manfaat yang akan dihasilkan 
3.  Derajat perubahan yang diinginkan
4.  Kedudukan pembuat kebijakan 
5.  Pelaksana program
6. Sumber daya yang dikerahkan 
Sementara itu, konteks implementasinya adalah : 
1.  Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat 
2.  Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Implementasi Kebijakan Bottom Up
5.  Model Smith :
Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : 
1. Idealized policy                    :   yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya 
2. Target groups                      :    yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization    :    yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4.  Environmental factors          :    unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.

Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan. 
Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran. 


Kamis, 07 April 2011

e-Procurement

BAB I
P E N D A H U L U A N

A.   L a t a r   B e l a k a n g

Saat ini perkembangan teknologi Internet sudah mencapai perkembangan yang sangat pesat. Aplikasi Internet sudah digunakan untuk e-Commerce dan berkembang kepada pemakaian aplikasi Internet pada lingkungan pemerintahan yang dikenal dengan e-government. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah berlomba-lomba membuat aplikasi e-Government.
Pengembangan aplikasi e-Government memerlukan pendanaan yang cukup besar sehingga diperlukan kesiapan dari sisi sumber daya manusia aparat pemerintahan dan kesiapan dari masyarakat. Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa ada kecenderungan aparat pemerintah untuk tidak melaksanakan kegiatan secara online, karena mereka lebih menyukai metoda pelayanan tradisional yang berupa tatap langsung, surat-menyurat atau telepon. Kita harus belajar dari penyebab-penyebab kegagalan e-Government di sejumlah negara yangdisebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: ketidaksiapan sumber daya manusia, sarana dan prasarana teknologi informasi, serta kurangnya perhatian dari pihak-pihak yang terlibat langsung.
e-Government dapatlah digolongkan dalam empat tingkatan. Tingkat pertama adalah pemerintah mempublikasikan informasi melalui website. Tingkat kedua adalah interaksi antara masyarakat dan kantor pemerintahan melaui e-mail. Tingkat ketigaadalah masyarakat pengguna dapat melakukan transaksi dengan kantor pemerintahan secara timbal balik. Level terakhir adalah integrasi di seluruh kantor pemerintahan, di mana masyarakat dapat melakukan transaksi dengan seluruh kantor pemerintahan yang telah mempunyai pemakaian data base bersama
e-Government di indonesia telah berkembang sebelum 2003. Sementara itu pemerintah mulai menyadari perlunya pengembangan e-Goverment Diseluruh jajaran pemerintah daerah dan pada tahun 2003 dikeluarkan Inpres No. 3 Tahun 2003 mengenai pengembangan e-Government di indonesia.
Sekarang ini pemerintah di berbagai negara di dunia mengimplementasikan e-Government untuk mencapai 3 tujuan : memperoleh efisiensi di internal, meningkatkan layanan ke masyarakat, dan mendukung keunggulan ekonomi.  Di        Indonesia, seperti halnya negara lain, telah menyadari pentingnya e-Government online untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.

B.    T u j u a n
Untuk melaksanakan maksud tersebut, pengembangan                 e-government diarahkan untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu ;
a.        pembentukan jaringan informasi dan transaksi pelayanan publik yang memiliki kualitas dan lingkup yang dapat memuaskan masyarakat luas serta dapat terjangkau di seluruh wilayah Indonesia pada setiap saat tanpa dibatasi oleh sekat waktu dan biaya yang terjangkau oleh masyarakat;
b.        pembentukan hubungan interaktif dengan dunia usaha untuk meningkatkan perkem-bangan perekonomian nasional dan memperkuat kemampuan menghadapi perubahan dan persaingan perdagangan internasional;
c.        pembentukan mekanisme dan saluran komunikasi dengan lembaga-lembaga negara serta penyediaan fasilitas dialog publik bagi masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan negara;

BAB II
T I N J A U A N  P U S T A K A


A.   Kebijakan dan Strategi Pengembangan e-Government
Instruksi Presiden No 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan e-Government tidak bisa dipungkiri adalah angin bagus bagi penerapan teknologi komunikasi dan informasi di pemerintahan.
Tahap 1     –   Persiapan, yaitu pembuatan situs web sebagai media informasi dan komunikasi pada setiap lembaga.
Tahap 2     – Pematangan, yaitu pembuatan web portal informasi publik yang bersifat interaktif.
Tahap 3     –   Pemantapan, yaitu pembuatan web portal yang bersifat transaksi elektronis layanan publik.
Tahap 4     –   Pemanfaatan, yaitu pembuatan aplikasi untuk layanan
                        Government to Government (G2G),
                        Government to Business (G2B),
                        Government to Consumers (G2C).

B.    Hambatan Dalam Mengimplementasikan e-Government
Ada beberapa hal yang menjadi hambatan atau tantangan dalam mengimplementasikan e-Government di Pemda Pekalongan diantaranya:
·           Kultur berbagi belum ada. Kultur berbagi (sharring) informasi dan mempermudah urusan belum merasuk di Indonesia. Bahkan ada pameo yang mengatakan: “Apabila bisa dipersulit mengapa dipermudah?”. Banyak oknum yang menggunakan kesempatan dengan mepersulit mendapatkan informasi ini.
·           Kultur mendokumentasi belum lazim. Salah satu kesulitan besar yang kita hadapi adalah kurangnya kebiasaan mendokumentasikan (apa saja). Padahal kemampuan mendokumentasi ini menjadi bagian dari ISO 9000 dan juga menjadi bagian dari standar software engineering.
·           Langkanya SDM yang handal. Teknologi informasi merupakan sebuah bidang yang baru. Pemerintah umumnya jarang yang memiliki SDM yang handal di bidang teknologi informasi. Kekurangan SDM ini menjadi salah satu penghambat implementasi dari e-Government.
·           Infrastruktur yang belum memadai dan mahal. Infrastruktur telekomunikasi Indonesia memang masih belum tersebar secara merata. Di berbagai daerah di Indonesia masih belum tersedia saluran telepon, atau bahkan aliran listrik. Kalaupun semua fasilitas ada, harganya masih relatif mahal. Pemerintah juga belum menyiapkan pendanaan (budget) untuk keperluan ini.
·           Tempat akses yang terbatas. Sejalan dengan poin di atas, tempat akses informasi jumlahnya juga masih terbatas. Di beberapa tempat di luar negeri, pemerintah dan masyarakat bergotong royong untuk menciptakan access point yang terjangkau, misalnya di perpustakaan umum (public library). Di Indonesia hal ini dapat dilakukan di kantor pos, kantor pemerintahan, dan tempat-tempat umum lainnya.






BAB III
P E M B A H A S A N

A.   Pengertian e-Procurement
·           Menurut Kantor Manajemen Informasi Pemerintah Australia (Australian Government Information Management, AGIMO) :            e-Procurement merupakan pembelian antar-bisnis (business-to-business, B2B) dan penjualan barang dan jasa melalui internet.
·           Menurut Wikipedia : e-Procurement adalah pembelian business-to-business (B2B) dan penjualan barang dan jasa melalui internet maupun sistem-sistem informasi dan jaringan lain, seperti Electronic Data Interchange (EDI) dan Enterprise Resource Planning (ERP).
·           Siemens,  e-Procurement atau e-purchasing adalah pengadaan yang menggunakan media elektronik seperti internet atau jaringan komputer yang lain.
·           Sarzana Fulvio di S. Ippolito (2003) menyebut e-Procurement sebagai seperangkat teknologi, prosedur, dan langkah-langkah organisasional yang memungkinkan pembelian barang dan jasa secara online, melalui peluang-peluang yang ditawarkan oleh internet dan e-commerce

B.    Tujuan e-Procurement
a.        Untuk lebih meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, sehingga pemerintah mendapatkan barang/jasa yang diperlukan dengan harga yang sama atau lebih murah dari harga pasar dengan tetap mencapai sasaran yang telah ditetapkan sesuai kualitas, kuantitas, serta waktu penyerahan sebagaimana yang disyaratkan dalam kontrak  pengadaan barang/jasa pemerintah.
b.        untuk lebih meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah;
c.        untuk memudahkan sourcing baik dalam memperoleh data dan informasi tentang barang/jasa, spesifikasi teknis, dan harga maupun tentang penyedia barang/jasa yang memenuhi kriteria pengadaan;
d.        untuk menjamin proses pengadaan barang/jasa pemerintah lebih cepat dan akurat;
e.        untuk lebih menjamin persamaan kesempatan, akses, dan hak yang sama bagi para pihak dalam proses pengadaaan barang/jasa;
f.          untuk menciptakan situasi yang kondusif terjadinya persaingan yang sehat bagi penyedia barang/jasa;
g.        untuk menciptakan situasi yang kondusif bagi aparatur pemerintah dan menjamin terselenggaranya komunikasi online serta mengurangi pertemuan langsung antara penyedia dan panitia dalam mendukung pemerintahan yang bersih, dan bebas dari KKN.

C.   Manfaat e-Procurement
       Proses pengadaan lebih transparan karena informasi pengadaan melalui internet mudah dan dapat diakses dimana saja dan kapan saja selama 24 jam.
       Mengurangi kontak person karena dokumen dikirim dan diproses melalui akses internet sehingga akan mengurangi KKN.
       Lebih efisien karena akan banyak mengurangi biaya dan lebih efektif karena sebagian besar proses dapat dilakukan oleh sistem.
       Meningkatkan kontrol terhadap penyimpangan
        Mengoptimalkan pengelolaan basis pasokan yang tepat waktu.



D.   Prinsip Dasar e-Procurement
a.        efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus menghasilkan   barang/jasa dengan kualitas yang dipersyaratkan dan memberikan  manfaat yang sebesar-besarnya sesuai sasaran yang ditetapkan;
b.        efisien, berarti pengadaan barang/jasa untuk mendapatkan harga yang sama atau lebih murah dari harga pasar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;  
c.        terbuka dan bersaing, berarti pengadaan barang/jasa harus terbuka bagi penyedia barang/jasa yang memenuhi persyaratan dan dilakukan melalui persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan;
d.        transparan, berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk syarat administrasi dan teknis, tata cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, kepastian waktu setiap tahapan, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa yang berminat serta bagi masyarakat luas pada umumnya;
e.        adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepada pihak tertentu, dengan cara dan atau alasan apapun;
f.          akuntabel, berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan  masyarakat, serta dapat dipertanggung-jawabkan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


E.    Proses e-Procurement
Berdasarkan PP Tahun 2006 tentang Pengadaan barang/jasa secara elektronik.
Proses e-Procurement secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut ini langkah-langkah utamanya
1.         Apabila seorang manajer memerlukan sebuah tas kantor, ia dapat mencari sendiri di katalog maya dalam jaringan internal perusahaan. Dengan satu klik, ia memilih salah satu dan memasukkan dalam keranjang maya. Secara otomatis, ini sudah menjadi permintaan.
2.         Permintaan elektronis ini secara elektronis pula akan disetujui atau tidak disetujui.
3.         Apabila tidak disetujui, manajer bersangkutan akan diberi tahu. Apabila disetujui, permintaan ini bersama dengan permintaan lain di perusahaan dikumpulkan dan otomatis menjadi surat pesanan.
4.         Surat pesanan ini secara elektronis dikirim melalui internet ke pemasok.
5.         Bagian keuangan otomatis mencatat transaksi ini dan transfer uang akan langsung dilakukan ke pemasok (apabila pembayaran di muka) atau kalau sudah ada berita pengiriman secara elektronis (apabila pembayaran di belakang).


  Manajer cari                Persetujuan                    PO dibuat                          PO                     Pembayar
 di katalog &                      secara                             secara                          dikirim                      an dilaku
   klik sendiri                  elektronik       elektronik                    elektronik    kan elek
                                                                                                                             tronik

Proses e-procurement

F.    Hambatan e-Procurement
        E-Procurement dapat dipandang sebagai ancaman bagi pihak-pihak yang selama ini mendapat keuntungan dari proses pengadaan  yang lama.
        Di beberapa daerah Infrastruktur internet masih belum mendukung.
        Database yang dibutuhkan tidak lengkap bahkan tidak tersedia.
        Masih cukup banyak para penyedia jasa di Indonesia gagap teknologi.

G.   Aspek Keamanan
Aspek keamanan biasanya seringkali ditinjau dari tiga hal, yaitu Confidentiality, Integrity, dan Availability. Biasanya ketiga aspek ini sering disingkat menjadi CIA. Namun dalam makalah ini diusulkan aspek lain yaitu aspek non-repudiation yang dipelukan untuk transaksi elektronik.  Penjabaran dari masing-masing aspek tersebut akan dibahas secara singkat pada bagian ini
a.    Confidentiality
Confidentiality merupakan aspek yang menjamin kerahasiaan data atau informasi. Sistem yang digunakan untuk mengimplementasikan e-Procurement harus dapat menjamin kerahasiaan data yang dikirim, diterima dan disimpan. Bocornya informasi dapat berakibat batalnya proses pengadaan.
Kerahasiaan ini dapat diimplementasikan dengan berbagai cara, seperti misalnya menggunakan teknologi kriptografi dengan melakukan proses enkripsi (penyandian, pengkodean) pada transmisi data, pengolahan data (aplikasi dan database), dan penyimpanan data (storage). Teknologi kriptografi dapat mempersulit pembacaan data tersebut bagi pihak yang tidak berhak.
       b.    Integrity
Integrity merupakan aspek yang menjamin bahwa data tidak boleh berubah tanpa ijin pihak yang berwenang (authorized). Untuk aplikasi e-procurement, aspek integrity ini sangat penting. Data yang telah dikirimkan tidak dapat diubah oleh pihak yang berwenang. Pelanggaran terhadap hal ini akan berakibat tidak berfungsinya sistem e-procurement.
Secara teknis ada banyak cara untuk menjamin aspek integrity ini, seperi misalnya dengan menggunakan messange authentication code, hash function, digital signature.
c.    Availability
Availability merupakan aspek yang menjamin bahwa data tersedia ketika dibutuhkan. Dapat dibayangkan efek yang terjadi ketika proses penawaran sedang dilangsungkan ternyata sistem tidak dapat diakses sehingga penawaran tidak dapat diterima. Ada kemungkinan pihak-pihak yang dirugikan karena tidak dapat mengirimkan penawaran, misalnya.
Hilangnya layanan dapat disebabkan oleh berbagai hal, mulai dari benca alam (kebakaran, banjir, gempa bumi), ke kesalahan sistem (server rusak, disk rusak, jaringan putus), sampai ke upaya pengrusakan yang dilakukan secara sadar (attack). Pengamanan terhadap ancaman ini dapat dilakukan dengan menggunakan sistem backup dan menyediakan disaster recovery center (DRC) yang dilengkapi dengan panduan untuk melakukan pemulihan (disaster recovery plan).
       d.    Non-repudiation
Non-repudiation merupakan aspek yang sangat penting dalam transaksi elektronik. Aspek ini seringkali dilupakan. Aspek non-repudiation menjamin bahwa pelaku transaksi tidak dapat mengelak atau menyangkal telah melakukan transaksi.
Dalam sistem transaksi konvensional, aspek non-repudiation ini diimplementasikan dengan menggunakan tanda tangan. Dalam transaksi elektronik, aspek non-repudiation dijamin dengan penggunaan tanda tangan digital (digital signature), penyediaan audit trail (log), dan pembuatan sistem dapat diperiksa dengan mudah (auditable). Implementasi mengenai hal ini sudah tersedia, hanya perlu diaktifkan dan diakui saja. Dalam rancangan Cyberlaw Indonesia – yang dikenal dengan nama RUU Informasi dan Transaksi Elektronik – tanda tangan digital diakui sama sahnya dengan tanda tangan konvensional.
       e.    Standar Pengamanan
Dalam upaya untuk memenuhi aspek-aspek tersebut di atas, sistem perlu dirancang dan diimplementasikan sesuai dengan standar yang berlaku. Ada beberapa standar yang dapat diikuti, mulai dari standar yang sifatnya formal (seperti ISO 17799) sampai ke standar yang sifatnya lebih praktis dan operasional (yang sering disebut best practice).
       f.     Evaluasi Secara Berkala
Untuk membuktikan aspek-aspek tersebut sistem informasi perlu diuji secara berkala. Pengujian atau evaluasi ini sering disebut dengan istilah audit, akan tetapi bukan audit keuangan. Untuk menghindari kerancuan ini biasanya sering digunakan istilah assesement.
Evaluasi secara berkala bisa dilakukan dalam level yang berbeda, yaitu dari level management (non-teknis) dan level teknis. Masing-masing level ini dapat dilakukan dengan menggunakan metodologi yang sudah baku. Evaluasi untuk lebel non-teknis biasanya dilakukan dengan menggunakan metoda evaluasi dokumen. Metoda ini yang banyak dilakukan oleh auditor Indonesia. Namun, metoda ini belum cukup. Dia harus dilengkapi dengan evaluasi yang levelnya teknis sebab seringkali kecukupan dokumen belum dapat memberikan perlindungan. Sebagai contoh, seringkali auditor hanya mencatat bahwa sistem memiliki firewall sebagai pelindung jaringan. Akan tetapi jarang yang melakukan evaluasi teknis sampai menguji konfigurasi dan kemampuan firewall tersebut.
Untuk level teknis, ada metodologi dalam bentuk checklist seperti yang telah kami kembangkan di INDOCISC dengan menggunakan basis Open-Source Security Testing Methodology (OSSTM). Sayangnya di Indonesia tidak banyak yang dapat melakukan evaluasi secara teknis ini sehingga cukup puas dengan evaluasi tingkat high-level saja. Sekali lagi, evaluasi secara teknis harus dilakukan untuk membuat evaluasi menyeluruh.












BAB IV
P E N U T U P
A.   K e s i m p u l a n
Dengan adanya e-Procurement dapat meminimalisir kecurangan/penyimpangan dalam hal pengadaan barang/jasa sehingga kegiatan-kegiatan yang sifatnya sensitif dalam penyimpangan dapat terhindari.
B.    S a r a n
Perlu ada pengembangan dan peningkatan dalam hal                 e-Procurement ini sehingga akan terwujudnya good governance.










D A F T A R   P U S T A K A

                                                         
Darwin, Muhajir, 2000, Good Governance dan Kebijakan Publik, Lokakarya ”Reformasi Birokrasi menu  Good Goverance, Yogyakarta, 25 Oktober 2000
Dwiyanto, Agus, (Editor), 2005, Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
KOMINFO, Sistem Informasi Nasional. Departemen Komunikasi dan Informatika. Tersedia di: http://www.depkominfo.go.id
Indrajit, Richardus E., 2002, Electronic Government, Penerbit Andi, Yogyakarta

Sumber media
http:/www.google.co.id
http:/www.depkeu.go.id
http:/www.pajak.co.id
http:/www.perbendaharaan.go.id
http:/www.djbc.co.id